Nama dan Nasab
Beliau
adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah bin ‘Amir bin ‘Amr
bin Ka’ab bin
Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab
bin Lu’ay. Ibunda beliau bernama Ummu Rumman binti ‘Umair bin ‘Amir bin Dahman
bin Harist bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
‘Aisyah
رضي الله عنها terlahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم
Dari
‘Aisyah رضي الله عنها, bahwasanya dia pernah bertanya: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya semua maduku mempunyai kun-yah (julukan), maka sudikah engkau
memberikan juga kun-yah untukku?” Beliau صلّى
الله عليه و سلّم
menjawab: “Julukilah dirimu dengan putera (angkat)mu ‘Abdullah bin az-Zubair.”
Sejak saat itu, ‘Aisyah رضي الله عنها diberi kun-yah Ummu ‘Abdillah
hingga meninggal dunia.
Malaikat Jibril Membawa Gambar ‘Aisyah untuk Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم serta Peminangan
dan Pernikahan Beliau dengannya
Dari
‘Aisyah رضي الله عنها, ia berkata: “Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم bercerita kepadaku: ‘Aku melihatmu dalam mimpi sebelum menikah
denganmu sebanyak dua kali, (dalam lafazh lain: tiga kali). Malaikat datang
kepadaku, ia membawakan jasadmu dalam sehelai kain sutera, seraya berkata:
‘Inilah isterimu!’ Akupun membuka (kain tadi untuk melihat) wajah wanita itu,
dan ternyata dia adalah kamu.’” Kemudian, aku bertanya: “Kalau memang ini
ketentuan dari Alloh, pasti akan terlaksana.”
Dari
‘Aisyah رضي الله عنها, ia berkata: “Malaikat Jibril datang membawaku kepada
Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dalam sehelai kain sutera, seraya berkata: ‘Ini adalah isterimu
di dunia dan di akhirat.’”
Imam
al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah رضي الله عنها,
ia berkata: “Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم menikahiku saat aku berumur enam
tahun. Setelah itu, kami mendatangi kota Madinah dan tinggal di rumah Bani
al-Harits bin Khazraj. Akupun jatuh sakit karena kelelahan, bahkan rambutku
rontok hingga berjatuhan di kedua pundakku. Ibuku, Ummu Rumma, bersama beberapa
temanku datang menjengukku, tepat saat diriku berada di ayunan anak-anak.
Tiba-tiba ibuku berteriak memanggilku hingga aku bergegas menghampirinya.
Aku
tidak tahu apa yang ibuku inginkan dariku, sampai-sampai aku diberdirikan di
pintu rumah dengan napas terengah-engah, hingga akhirnya jiwaku sedikit tenang.
Setelah itu, aku mengambil sedikit air lalu mengusap wajah dan kepalaku.
Lantas, ibuku memasukkanku ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat
beberapa wanita Anshar. Mereka mengatakan: ‘Semoga engkau tetap berada dalam
kebaikan dan keberkahan.’ Ibuku menyerahkanku dan merekapun merias diriku.
Tidak ada yang membuatku takut ketika itu, kecuali Rasulullah (yang akan
kutemuai) pada waktu dhuha. Selanjutnya, ibuku menyerahkanku kepada beliau dan
aku saat itu baru berumur sembilan tahun.”
Sekelumit tentang Keutamaan ‘Aisyah رضي الله عنها
Pribadi yang
Haus Ilmu
Selama Sembilan tahun
Aisyah ra hidup dengan Rasulullah saw. Beliau dikenal sebagai pribadi yang haus
akan ilmu pengetahuan. Ketekunan dalam belajar menghantarkan beliau sebagai
perempuan yang banyak menguasai berbagai bidang ilmu. Diantaranya adalah ilmu
al-qur’an, hadist, fiqih, bahasa arab dan syair. Keilmuan Aisyah tidak
diragukan lagi karena beliau adalah orang terdekat Rasulullah yang sering
mengikuti pribadi Rasulullah. Banyak wahyu yang turun dari Allah
disaksikan langsung oleh Aisyah ra.
“Aku pernah melihat
wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga
beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“
(HR. Bukhari).
Aisyah juga dikenal
sebagai perempuan yang banyak menghapalkan hadist-hadist Rasulullah. Sehingga
beliau mendapat gelar Al-mukatsirin (orang yang paling banyak meriwayatkan
hadist). Ada sebanyak 2210 hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Diantaranya
terdapat 297 hadist dalam kitab shahihain dan sebanyak 174 hadist yang
mencapai derajat muttafaq ‘alaih. Bahkan para ahli hadist menempatkan beliau
pada posisi kelima penghafal hadist setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin
Malik, dan Ibnu Abbas.
Pribadi yang Tegas dalam Menegakkan Hukum Allah
Aisyah juga dikenal
sebagai pribadi yang tegas dalam mengambil sikap. Hal ini terlihat dalam
penegakan hukum Allah, Aisyah langsung menegur perempuan-perempuan muslim yang
melanggar hukum Allah.
Suatu ketika dia
mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum.
Aisyah mendatangi mereka dan berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah
selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan
Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah
menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam
setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata,
“Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini),
niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel
dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat
Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin
Aisyah . Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah
menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.
Pribadi yang Dermawan
Dalam hidupnya Aisyah
ra juga dikenal sebagai pribadi yang dermawan. Dalam sebuah kisah diceritakan
bahwa Aisyah ra pernah menerima uang sebanyak 100.000 dirham. Kemudian beliau
meminta para pembantunya untuk membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir
miskin tanpa menyisakan satu dirhampun untuk beliau. Padahal saat itu beliau
sedang berpuasa.
Harta duniawi tidak
menyilaukan Aisyah ra. Meskipun pada saat itu kelimpahan kekayaan berpihak
kepada kaum muslimin. Aisyah ra tetap hidup dalam kesederhanaan sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Menjadi Problem
Solver
Kecerdasan dan
keluasan ilmu yang dimiliki Aisyah ra sudah tidak diragukan lagi. Bahkan
beliau dijadikan tempat bertanya para kaum wanita dan para sahabat tentang
permasalahan hukum agama, maupun kehidupan pribadi kaum muslimin secara umum.
Hisyam bin Urwah
meriwayatkan hadis dari ayahnya. Dia mengatakan: “Sungguh aku telah banyak
belajar dari ‘Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai
daripada ‘Aisyah tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah diturunkan, hukum
fardhu dan sunnah, syair, permasalahan yang ditanyakan kepadanya, hari-hari
yang digunakan di tanah Arab, nasab, hukum, serta pengobatan.
Setelah Rasulullah
meninggal dunia, Aisyah ra menghabiskan hidupnya untuk perkembangan dan
kemajuan Islam. Rumah beliau tak pernah sepi dari pengunjung untuk bertanya
berbagai permasalahan syar’iat . Sampai-sampai Khalifah Umar bin khatab dan
Usman bin Affan mengangkat beliau menjadi penasehat. Hal ini merupakan wujud
penghormatan Umar dan Ustman terhadap kemuliaan Ilmu yang dimiliki oleh
Aisyah ra.
Wafatnya ‘Aisyah
‘Aisyah
رضي الله عنها meninggal pada malam selasa, tanggal 17 Ramadhan setelah shalat
witir, pada tahun 58 Hijriyah. Yang demikian itu menurut pendapat mayoritas
ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 57 H, dalam usia
63 tahun dan sekian bulan. Para sahabat Anshar berdatangan pada saat itu,
bahkan tidak pernah ditemukan satu hari pun yang lebih banyak orang-orang
berkumpul padanya daripada hari itu, sampai-sampai penduduk sekitar Madinah
turut berdatangan.
‘Aisyah
رضي الله عنها dikuburkan di Pekuburan Baqi’. Shalat jenazahnya diimami oleh
Abu Hurairah dan Marwan bin Hakam yang saat itu adalah Gubernur Madinah. Semoga
Alloh meridhoi Ummul Mukminin ‘Aisyah رضي
الله عنها
beserta seluruh Ummul Mukminin lainnya.
Bantahan Terhadap Beberapa Syubhat (Tuduhan) yang Dialamatkan Kepada
Ummul Mukminin ‘Aisyah
Pernikahan Rasulullah صلّى
الله عليه و سلّم dengan ‘Aisyah رضي
الله عنها
Sejak
dahulu, musuh-musuh Islam tidak pernah menyia-nyiakan satu kesempatan pun untuk
berbuat jahat. Tidaklah pula mereka membiarkan satu celah pun terbuka untuk
mencela Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم melainkan akan segera
memanfaatkannya.
Di
antara tuduhan mereka adalah mengenai pernikahan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dengan seorang perawan kecil (‘Aisyah), yang sebenarnya hanya
pantas menjadi salah satu puterinya.
Anehnya,
tuduhan tersebut baru dilontarkan oleh musuh-musuh Islam pada zaman sekarang,
padahal tuduhan semacam ini tidak ditemukan pada zaman nenek moyang mereka dari
kalangan bangsa Yahudi, orang-orang munafik, dan kaum lainnya. Hal demikian
dikarenakan mereka hidup pada zaman yang menganggap kejadian ini bukanlah suatu
keanehan dan bukan pula sebuah aib menurut pandangan dan kondisi masyarakat
saat itu. Jika tidak demikian, apakah mungkin orang-orang kafir dan orang-orang
yang suka mencela Rasulullah pada zaman itu membiarkan kesempatan emas ini?
Tidak
adanya tuduhan tersebut karena mereka telah mengetahui bahwa ‘Aisyah رضي الله عنها bukanlah gadis kecil pertama yang dinikahkan pada usia dini
dengan seorang laki-laki yang lebih tua daripadanya, dan bukan pula yang terakhir.
Di samping itu, mengapa hal ini mesti dipungkiri, bukankah sebelumnya ‘Aisyah رضي الله عنها sudah dipinang oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi? Lihat pula
‘Umar bin al-Khaththab, beliau di akhir usianya dengan Ummu Kultsum binti ‘Ali
bin Abi Tholib, padahal ‘Umar lebih tua disbanding umur bapaknya (‘Ali). ‘Umar
juga pernah menawarkan puterinya, Hafshah, setelah menjanda kepada Abu Bakar
dan ‘Utsman, padahal keduanya saat itu seumur dengan ‘Umar.
Meskipun
demikian, syubhat ini ternyata melekat dalam pikiran sebagian umat Islam, baik
secara sengaja ataupun tidak, sehingga sebagian orang menganggap bahwa menikah
pada umur sebagaimana Rasulullah membangun rumah tangga dengan ‘Aisyah رضي الله عنها merupakan sesuatu yang mustahil. Namun, al-hamdulillah, para ulama
Muslim telah membantah pendapat musuh-musuh Islam itu dengan berbagai dalil
naqli (nash) dan ‘aqli (akal).
Mereka
juga menetapkan hakikat pernikahan ‘Aisyah رضي
الله عنها
pada usia dini dan menerangkan bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan mesyarakat
pada waktu itu. Di sisi lain, hal tersebut termasuk syari’at dari Rasulullah,
berupa anjuran agar seseorang menikah pada usia dini, karena yang demikian itu
lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Tambahan pula,
bahwasanya kesanggupan seorang wanita untuk memasuki bahtera rumah tangga tidak
bergantung pada usianya, muda atau tua. Sungguh, tidaklah Rasulullah memasuki
tahapan hidup berumah tangga, melainkan karena memang ‘Aisyah رضي الله عنها sudah siap untuk itu.
Tuduhan Berzina
Tatkala
bendera Islam telah berkibar tinggi dan kejayaan Islam sudah tampak, serta
kekuatan kekufuran hancur, muncullah fenomena di tengah-tengah barisan umat
Islam musuh-musuh bebuyutan yang licik, yang menampakkan Islam di luarnya hanya
demi menjaga darah dan harta, namun mereka menyembunyikan kekufuran dan gejolak
kedengkian, serta tipu daya terhadap Islam dan kaum Muslimin. Mereka adalah
orang-orang munafik yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia
beranggapan bahwasanya Rasulullah صلّى
الله عليه و سلّم telah
merebut kekuasaan dan kedudukannya, tidak lain karena kaumnya sebenarnya sudah
siap untuk memberikan kekuasaan dan kerajaan di Madinah padanya (Ubay), sebelum
sampainya ajaran Islam dan masuknya kaum Muslimin di kota tersebut.
Kaum
munafik pun membulatkan tekad untuk merongrong kaum Muslimin, dengan
menjalankan aksinya, baik sendiri-sendiri maupun bergabung bersama kelompok
lainnya. Bahkan, kebusukan dan kejahatan mereka sampai pada titik ikut serta
keluar dan berperang bersama (membantu) Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم
terutama pada peperangan yang diperkirakan akan mendatangkan kemenangan dan
mendapatkan harta rampasan perang, sehingga mereka bisa pulang dengan membawa
harta kesenangan dunia yang fana.
Kaum
ini juga meyakinkan kaum Muslimin bahwasanya mereka berada di satu barisan
bersama umat Islam, padahal pada saat yang sama, mereka mencari-cari kesempatan
untuk menyebarkan racun keraguan dalam hati dan menanam bibit perpecahan di
antara kaum Muslimin. Meskipun semua itu harus ditempuh dengan jalan menghina
dan melecehkan Rasulullah صلّى الله عليه
و سلّم pasti
mereka akan tetap melakukannya tanpa ragu-ragu.
Akhirnya,
kaum munafik mendapatkan kesempatan itu tatkala mereka keluar bersama
Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم untuk memerangi Bani Mushthaliq. Kaum ini pun memperoleh
peluang emas untuk mengabulkan keinginan nafsu keji mereka.
Peristiwa
ini kemudian dikenal dengan “tuduhan dusta” (haaditsul ifki), sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab-kitab tafsir,
hadits, sejarah peperangan, dan sirah. Peristiwa ini sangat masyhur disebabkan
turunnya beberapa ayat terkait dengan masalah tersebut.
Secara
ringkas, kronologis kejadian di atas adalah sebagaimana berikut. Suatu ketika,
rombongan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم meninggalkan Ummul Mukminin
‘Aisyah رضي الله عنها (tanpa sengaja) karena beliau sedang sibuk mencari kalungnya
yang hilang saat sedang buang hajat. Setelah itu, ‘Aisyah رضي الله عنها kembali dan menunggu di tempat sebelumnya rombongannya berada,
hingga datanglah Shafwan bin Mu’athil sebab dia memang berada di barisan
belakang rombongan. Ia pun melihat dan mengenali wajah ‘Aisyah رضي الله عنها karena pernah melihat beliau sebelum turunnya ayat hijab.
Shafwan lalu menundukkan unta untuk ‘Aisyah رضي
الله عنها
dan menuntun keduanya dengan cepat agar dapat menyusul rombongan. Di sisi lain,
rombongan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم panik karena kehilangan
‘Aisyah رضي الله عنها hingga pagi berikutnya.
Tatkala
kaum Muslimin sudah agak tenang, tiba-tiba muncullah Shafwan menuntun unta yang
ditunggangi Ummul Mukminin ‘Aisyah. Menyaksikan hal tersebut, orang-orang
munafik pun menyebarkan desas-desus sehingga orang-orang yang hatinya
berpenyakit turut menyebarkannya. Fitnah ini semakin memanas hingga sanggup
menjerat (menyesatkan) sebagian umat Islam.
Keadaan
semakin parah karena wahyu tidak kunjung turun, padahal denganya akan binasa
orang yang binasa melalui bukti jelas dan akan hidup (juga) orang yang hidup
dengan bukti yang nyata. Benar , orang-orang munafik berhasil menjalankan
aksinya saat itu, senjata mereka benar-benar beracun, dan mereka yakin bahwa
tuduhan itu akan berujung pada kebinasaan ‘Aisyah.
Akan
tetapi, Allah berkehendak lain dan menyelamatkan umat Islam, terbukti dengan
diturunkannya wahyu dari-Nya, Yang Maha mengetahui semua rahasia. Alhasil,
terbebaslah ‘Aisyah رضي الله عنها ash-Shiddiqah binti Abu Bakar
ash-Siddiq melalui ayat yang diturunkan dari atas langit ketujuh, yang akan
terus dibaca oleh umat Islam di masjid-masjid mereka, sampai Allah mewarisi
bumi dengan segala isinya.
Demikian
gambaran singkat peristiwa tuduhan keji itu. Para ulama dan cendekiawan Islam
berlomba-lomba membantah tuduhan musuh-musuh Islam ini dengan dalil naqli dan
‘aqli. Semua kitab sejarah, baik yang ditulis sekarang atau sebelumnya, penuh
dengan bantahan terhadap tuduhan tersebut. Penulisnyapun berharap mendapatkan
pahala dari sisi Allah karena telah membela kehormatan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dan isteri-isteri
beliau, Ummahatul Mukminin yang suci.
Namun,
bukan di sini tempatnya untuk memaparkan bantahan para ulama tersebut. Adapun
dalil pertama dan terkuat bagi setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir adalah turunnya wahyu yang membebaskan ‘Aisyah ash-Shiddiqah رضي الله عنها. Cukuplah bagi kaum Muslimin dengan turunnya ayat ini, sebagai
bantahan terhadap tuduhan dusta itu.
(Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa orang yang mencela
‘Aisyah رضي الله عنها dengan sesuatu yang Allah telah
membebaskannya dari perbuatan tersebut atau menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها dengan tuduhan orang-orang munafik
dahulu, sebagaimana dilakukan orang-orang Syi’ah Rafidhah pada zaman sekarang,
adalah kafir).
Ia
telah mendustakan apa yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, yang secara tegas
mengabarkan pembebasan dan kesucian ‘Aisyah رضي
الله عنها dari semua
tuduhan tersebut. Bahkan, para ulama mengatakan bahwa orang semacam ini wajib
dibunuh.
Dalil
atas hal ini:
1. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata saat menafsirkan firman Allah yang artinya:
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah
dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan
mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nuur: 23): “Seluruh ulama sepakat bahwa orang yang
mencela dan menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها dengan tuduhan yang
disebutkan dalam ayat ini, telah kafir dan menentang al-Qur’an.”
2. Imam Ibnul Qayyim menyebutkan kesepakatan umat Islam atas kafirnya orang yang
menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها berbuat zina: “’Aisyah رضي الله عنها adalah orang yang paling dicintai Rasulullah. Telah turun pula
pembebasannya dari langit. Umat Islam pun telah sepakat atas kekufuran orang
yang menuduh beliau berbuat zina.”
3. Imam az-Zarkasyi berkata: “Siapa saja yang menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها berbuat zina adalah kafir, karena al-Qur’an dengan sangat
jelas, telah membebaskannya.”
4. Imam Malik berpendapat bahwa orang yang menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها berzina harus dibunuh karena dia telah menyalahi al-Qur’an.
Sebab, siapa yang menyalahi al-Qur’an pantas dibunuh karena berani
mendustakannya.
5. Imam al-Qurthubi berkata saat menafsirkan firman Allah yang artinya:
“Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya
…” (QS. An-Nuur: 17): “Maksudnya ialah menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها.
Perbuatan yang demikian bisa menyakiti Rasulullah dari segi kehormatan diri dan
keluarganya, bahkan orang yang melakukannya akan menjadi kafir.
Hisyam
bin ‘Amr berkata: “Aku mendengar Imam Malik berpendapat bahwa siapa saja yang
mencela Abu Bakar dan ‘Umar harus diberi pelajaran, sedangkan siapa saja yang
mencela ‘Aisyah رضي الله عنها harus dibunuh, karena Allah
berfirman yang artinya:
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang beriman.” (QS. An-Nuur: 17)
Jadi,
siapa yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها berarti sama saja telah
menentang al-Qur’an, sedangkan orang yang menentang al-Qur’an harus dibunuh.”
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mengenai orang yang mencela para isteri
Rasulullah, al-Qadhi Abu Ya’la berpendapat: ‘Siapa saya yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dengan sesuatu yang Allah telah membebaskannya darinya,
telah kafir, tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Lebih dari
seorang ulama yang menegaskan adanya ijma’ ulama dalam hal ini. Lebih dari
seorang imam pula yang secara jelas menetapkan hukum ini.”
7. Ibnu Abi Musa berkata: “Barang siapa yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dengan sesuatu yang beliau telah dibebaskan Allah darinya, maka
dia telah keluar dari agama. Maka tidak sah pernikahannya dengan wanita
Muslimah.”
(Ucapan yang dikutip dari para ulama ini sangatlah
sedikit jika dibandingkan dengan pernyataan yang ada dalam kitab-kitab fiqih,
aqidah, dan tafsir. Semuanya membantah orang yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dari kalangan Rafidhah dan para pengikut
mereka. Para ulama juga telah menetapkan bahwa orang yang melakukannya telah
kafir karena mendustakan apa yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya yang mulia,
yaitu tentang terbebaskan dan tersucikannya ‘Aisyah)
Tersucikannya
‘Aisyah رضي الله عنها dari tuduhan tersebut akan dipahami oleh setiap orang yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itulah yang dipahami oleh sahabat yang
mulia, Abu Ayyub al-Anshari, tatkala isterinya, Ummu Ayyub, bertanya kepadanya:
“Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau mendengar apa yang sedang diperbincangkan
orang-orang tentang ‘Aisyah?” Beliau menjawab: “Ya. Hal itu hanya dusta belaka.
Apakah kamu juga melakukannya, hai Ummu Ayyub?” Ia menjawab: “Tidak, demi
Allah. Aku tidak melakukannya.” Abu Ayyub berkata: ‘Demi Allah, ‘Aisyah lebih
baik daripada kamu.’”
Semoga
Allah meridhai ‘Aisyah dan Ummul Mukminin lainnya serta mengumpulkan kita ke
dalam golongan mereka di bawah bendera Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم.
Segala puji hanya bagi Allah, Rabb sekalian alam.(di ambil dari berbagai
sumber)
0 komentar:
Posting Komentar